Selamat Hari Pers Nasional (HPN)…!!! Itu kalimat yang kerap kita dengar dan baca di setiap tanggal 9 Februari. Kalimat itu ditulis sebagai ucapan hari pers yang memang jatuh pada tanggal 9 februari.
Hari Pers Nasional telah ditetapkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 1985 dan ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985.
Tanggal tersebut juga menjadi tanggal berdirinya PWI menjadi wadah tunggal organisasi wartawan pasca kemerdekaan yakni di tahun 1946 di Surakarta.
Dewan Pers pun lantas menetapkan hari pers nasional diperingati setiap tahun yang mana penyelenggaraannya dilakukan secara bergantian di seluruh Ibu Kota provinsi se-Indonesia. Penyelenggaraannya dilaksanakan secara bersama antara komponen pers, masyarakat, dan pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang menjadi tempat penyelenggaraan.
Disisi lain insan pers tanah air juga memperingati hari pers internasional yang jatuh pada tanggal 3 mei.
Pada tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Pers Sedunia atau World Press Freedom Day, yang ditujukan untuk memperingati prinsip dasar kemerdekaan pers guna mengukur kebebasan pers di seluruh dunia.
Momentum ini digunakan untuk mengetahui arti penting kebebasan pers sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia.
Lepas dari dua peringatan hari pers yang sekedar acara rutinitas tahunan itu,ada hal yang jauh lebih penting untuk dikaji secara bersama yakni terkait kebebasan pers dan tantangan pers di era digital.
Kemerdekaan Pers pada hakikatnya bukanlah hak eksklusif dari komunitas pers semata. Kemerdekaan pers adalah hak konstitusional yang berakar kepada jaminan hak setiap warga negara untuk memperoleh informasi.
Di Indonesia, jaminan hak setiap warga negara untuk memperoleh informasi diatur dalam Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945, dan jaminan kemerdekaan pers diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999. Secara umum, kedua aturan ini mencakup 2 hal, yaitu hak untuk memperoleh informasi dan hak untuk berekspresi.
Namun tak jarang kegiatan jurnalistik yang dilindungi undang-undang ini terciderai berbagai bentuk ancaman bahkan kekerasan. Ditahun 2021 Reporters Without Borders (RSF) mencatat, indeks kebebasan pers Indonesia memburuk dalam dua tahun terakhir.
Pada 2020, skor indeks kebebasan pers Indonesia tercatat meningkat sebesar 0,05 poin menjadi 36,82 poin. Skornya lalu kembali naik menjadi 37,4 poin pada tahun ini, bertengger pada posisi 113 dunia.
Padahal, skor indeks kebebasan pers di tanah air sudah sempat menurun sejak 2016 hingga 2019. Pada 2016, skor indeks kebebasan pers Indonesia tercatat sebesar 41,72. Angkanya lalu merosot menjadi 36,77 poin pada 2019.
Turunnya pencapaian kebebasan pers Indonesia karena disebabkan beberapa faktor antara lain sejumlah kelompok radikal keagamaan yang mengancam hak media untuk memberikan informasi serta terkait pelaksanaan undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dilansir dari Kompas.com, Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin menilai, terdapat sejumlah regulasi yang bertentangan dengan semangat kebebasan pers, salah satunya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Ade menuturkan, Pasal 26 ayat (3) tentang penghapusan informasi elektronik berpotensi bertabrakan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik serta sejumlah peraturan perundang-undangan lain yang menjamin hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi.
Menurutnya, ketidakjelasan rumusan “informasi yang tidak relevan” dalam pasal tersebut, dapat digunakan untuk melanggengkan praktik impunitas kejahatan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat, korupsi, atau kekerasan seksual.
Sebab, ia menilai hal itu dapat membuka peluang bagi pelaku termasuk pejabat publik untuk mengajukan penghapusan informasi tersebut, termasuk informasi yang diproduksi pers.
Kemudian, pasal pencemaran nama baik dan penghinaan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3).
Ade mengatakan, pasal ini menambah risiko kriminalisasi terhadap wartawan yang melakukan kerja jurnalistik dengan tuduhan pencemaran dan penghinaan.
Terlepas dari undang-undang ITE yang masih menyisakan perdebatan,namun tantangan pers di era digital tidak bisa dibendung.
Diusianya yang semakin matang, sejak diresmikannya Hari Pers Nasional pada 37 tahun lalu, tentu pers nasional telah mengalami pasang surutnya sebagai sebuah institusi media yang independen dan bertanggungjawab.
Ketergantungan masyarakat pada media pun kini semakin dimudahkan dengan adanya teknologi digital. Gadget dan internet menjadi genggaman wajib yang memanjakan kaum milenial. Jika sebelumnya pers hanya memainkan satu saluran saja, misal perusahan pers cetak dia hanya mencetak surat kabar saja, maka sekarang perusahan pers cetak pun menyajikan konten daring untuk target pasar kawula muda.
Pengertian jurnalisme terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi. Setelah muncul internet, definisi jurnalisme juga mengalami perubahan.
Theodore Jay Gordon dari Future Group di Noank, Connecticut, (Hernandes, 1996:9). mengatakan ada empat daya kekuatan yang mengubah dunia jurnalisme pasca industrialisasi, yaitu munculnya abad komputer dan dominasi elektronika, globalisasi dari komunikasi ketika geografi menjadi kurang penting, perubahan demografi, terutama pertambahan jumlah orang-orang yang berumur di atas 40 tahun, dan perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat.
Seiring pesatnya perkembangan media daring yang tanpa kendali, jurnalisme daring selalu menjadi sorotan karena sering kali dianggap tidak mengedepankan objektifitas (akurasi, fairliness, kelengkapan, dan imparsialitas) dan hanya mengejar keinstanan. Hal inilah yang kerap menjadi masalah. Di satu sisi, media daring sangat memungkinkan penyebaran informasi jauh lebih cepat dari media konvensional, namun di sisi lain kecepatan ini mengorbankan prinsip-prinsip dasar jurnalisme diantaranya akurasi berita.
Dinamika pers di era digital ini pada akhirnya menuntut seluruh komponen media untuk memasang strategi baru guna keberlangsungan kedepan.Tak hanya bagi perusahaan pers, namun juga terhadap para jurnalis di lapangan.
Para jurnalis harus melakukan kegiatan jurnalistik secara profesional sesuai ketentuan kode etik jurnalis. Selain itu dibutuhkan sertifikasi sebagai pelengkap identitas profesionalitas jurnalis yang diakui dewan pers.
Masing-masing organisasi profesi wartawan pun juga bertanggung jawab untuk melakukan pelatihan kepada jurnalis yang tergabung guna menghindari kesalahan dalam penulisan yang berujung pada soal hukum ataupun intimidasi dilapangan.
Tuntutan perubahan pasti akan terjadi seiring putaran zaman.Tidak ada kata putus asa bagi para jurnalis untuk menyampaikan informasi kepada publik. Maka profesionalitas untuk memegang teguh kode etik jurnalis adalah kunci jawaban dari dinamika itu sendiri.
Selamat Hari Pers nasional dan selamat ulang tahun PWI.
Penulis : Muhammad Tiawan
( Ketua IJTI Korda Malang)