ijtimalang.com, MALANG — Memilih jalan hidup untuk merawat alam. Kini menjadi pilihan Sutari (48), warga Kecamatan Gedangan Kabupaten Malang, yang hingga saat ini aktif dalam kegiatan konservasi lingkungan. Terutama dalam menjaga kelestarian penyu.
Perjalanannya untuk melakukan rescue atau penyelamatan penyu ia lakukan sejak tahun 2009. Yang pada saat itu, ia lakukan secara berpindah-pindah. Hingga akhirnya, Sutari berhasil mendirikan Bajulmati Sea Turtle Conservation (BSTC). Tempat yang ia juluki sebagai ibukota penyu.
BSTC menjadi saksi menetasnya ribuan telur penyu menjadi tukik. Untuk selanjutnya ia kembali lepas liarkan di laut lepas, melalui Pantai Bajul Mati, salah satu pantai di Kabupaten Malang.
Saat musim penyu bertelur tiba, yakni di rentang bulan Maret hingga Agustus, dirinya sudah bersiap di titik lokasi yang biasanya dijadikan sarang penyu untuk bertelur. Melakukan patroli, untuk memastikan penyu-penyu itu bertelur dengan aman.
“Saat bertelur kita dokumentasikan. Lalu kita laporkan kepada beberapa pihak. Termasuk BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam),” terang Sutari.
Telur-telur itu lantas ditetaskan di BSTC. Ada beberapa bak dari beton yang sudah disiapkan sebagai area penetasan telur penyu. Yang sebisa mungkin kondisi area penetasan dibuat semirip mungkin dengan habitat aslinya saat menetas.
Dipendam dalam tumpukan pasir pantai. Dan juga berusaha menjaga agar suhu bisa stabil selama proses inkubasi hingga telur menetas. Tidak sampai disitu, tugasnya berlanjut untuk mengantarkan tukik yang baru saja menetas tersebut untuk kembali ke habitat aslinya.
Aktifitasnya sebagai penggiat konservasi, terutama untuk menyelamatkan hewan yang termasuk dilindungi tersebut, ternyata juga bukan hal mudah. Sebab dirinya harus berhadapan dengan beberapa pihak yang dinilai kurang bertanggung jawab atas tindakannya terhadap lingkungan.
Apalagi ternyata juga ada segelintir oknum masyarakat tidak bertanggung jawab yang masih menyalahgunakan penyu untuk kepentingan kantong pribadi. Sehingga tidak jarang ia harus bersinggungan dengan orang-orang di sekitarnya.
Untuk itu dalam hal konservasi, dirinya berusaha untuk mengedukasi masyarakat yang ada di pesisir. Terutama untuk anak-anak sebagai generasi penerus.
“Mungkin kalau kita edukasi ke orang dewasa, akan mentah. ‘awakmu ndisek yo ngono kuwi’ (kamu dulu juga seperti itu). Makanya kami juga mendirikan sekolah alam ini bagi anak-anak pesisir, agar kelak mereka tahu apa manfaat konservasi,” ujarnya menirukan kalimat seseorang saat ia edukasi tentang konservasi penyu.
Secara materi, menurutnya memang tidak ada hasil yang didapat dengan upaya konservasinya tersebut. Namun dirinya berprinsip bahwa setidaknya, ia bisa memberikan kontribusi terhadap alam untuk menjaga kelangsungan habitat dan ekosistem yang ada di dalamnya.
“Kalau seribu rupiah pun per hari tidak kami dapat. Kami berusaha mengabdi ke alam, dan alam akan mencukupi kita. Salah satunya saat menjala, kita dapat banyak ikan,” terang Sutari.
Dalam sekali bertelur, biasanya hingga ada sebanyak 145 butir telur penyu yang ia selamatkan. Begitu menetas, tukik-tukik itu dikumpulkan terlebih dahulu sebelum dilepas liarkan.
Dari catatannya, di Indonesia ada sebanyak 6 jenis penyu yang ditemui. Dimana 4 diantaranya ditemui di pesisir Malang Selatan dan juga pernah ditetaskan di BSTC. Keempat jenis penyu tersebut yakni penyu hijau, penyu belimbing, penyu sisik, penyu abu atau penyu lekang.
“Untuk penyu belimbing sendiri sudah jarang. Karena sifatnya yang memang cenderung pemalu. Jadi dia mencari tempat (bertelur) yang benar-benar aman,” jelas Sutari.
Hal itu menjadi tantangan tersendiri baginya. Apalagi di kondisi yang sedang terjadi saat ini. Salah satunya berkembangnya wisata-wisata berbasis alam. Termasuk kawasan wisata pantai.
Kondisi tersebut ternyata juga berpengaruh pada tingkat vegetasi di sekitar pesisir yang kian menipis. Berdasarkan pantauannya, dari keseluruhan area vegetasi di pesisir, sekitar 70 persennya rusak.
“Ya pengaruhnya karena iklim atau cuaca, juga mungkin karena pengelola wisata yang kurang teredukasi bagaimana konservasi itu,” jelas Sutari.
Sebenarnya, ia mengaku tidak masalah dengan masuknya banyak wisatawan di tengah berkembangnya wisata berbasis alam. Malah, dirinya berkeinginan bahwa suatu hari, BSTC dengan kegiatan konservasi penyu bisa turut mendukung berkembangnya wisata tersebut.
“Bisa saja ini menjadi sarana edukasi di tempat wisata. Misalnya ingin melihat penyu bertelur, tentunya dengan berbagai syarat,” tegas Sutari.
Untuk itu, banyak tahapan yang harus dilalui. Salah satunya dengan membentuk kawasan inti dan kawasan penyangga. Tujuannya, untuk mempertegas kawasan yang menjadi area konservasi dan area yang dibuka sebagai kawasan wisata.
“Misalnya, ada yang mau camping, ya harus disana (kawasan penyangga) dulu. Kalau mau disini, harus diedukasi dulu, mari duduk bareng. Agar nanti tidak ada yang lompat pagar, itu ada area penetasan, telurnya terinjak dan segala hal yang tidak diinginkan,” jelasnya.
Saat ini, dirinya sedang berusaha agar lahan yang ia jadikan sebagai tempat untuk konservasi bisa mempunyai legalitas. Untuk itu dalam beberapa kegiatan dirinya juga turut menghadirkan jajaran vertikal yang berwenang di wilayahnya. Seperti BKSDA dan Perhutani.
Selain itu, sebagai informasi, selain dari hasi penyelamatannya, telur-telur yang ditetaskan di BSTC juga banyak dari hasil sitaan di beberapa daerah. Seperti yang saat ini, masih ada sekitar 435 butir telur penyu yang masih dalam proses penetasan.