IJTIMALANG.COM – Apakah wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) sudah benar sirna ? dan apakah dampak yang hingga saat ini masih dirasakan oleh para peternak. Seperti yang dirasakan ratusan peternak sapi di Kabupaten Malang, terutama wilayah Pujon, Ngantang dan Kasembon masih belum seutuhnya pulih setelah dihantam wabah PMK.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang melalui Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) mengaku bahwa sudah optimal dalam melakukan penanganan. Salah satunya dengan menggelontorkan anggaran belanja tak terduga (BTT) untuk pengadaan obat dan kebutuhan lain yang diperlukan dalam penanganan PMK.
“BTT kita kan Rp 1,5 Miliar, sebagian sudah dibelikan untuk obat, hampir 75 persen sudah dibelanjakan. Dan itu sudah digelontorkan (ke peternak),” ujar Kepala DPKH Kabupaten Malang, Eko Wahyu Widodo.
Selain itu, vaksin yang diberi oleh Pemerintah Pusat juga diklaim cukup efektif dalam menekan laju penyebaran wabah PMK. Dimana saat ini, vaksinasi PMK di Kabupaten Malang sudah mulai berproses hingga dosis kedua.
Eko mengaku bahwa penyaluran obat yang dibelanjakan dari BTT juga diklaim telah merata. Sedangkan penyalurannya dilakukan melalui kelompok-kelompok peternak di setiap wilayah.
“Kita membaginya, bantuan diberikan kepada kelompok, mungkin belum nyampe saja. Kan gak mungkin saya bagi satu-satu. Mungkin belum nyampe. Kalau kurang bisa kita kasih lagi,” terang Eko.
Di satu sisi, sejumlah peternak di wilayah Pujon mengaku bahwa selama wabah PMK menyerang, nyaris tidak mendapatkan bantuan. Bahkan juga ada yang mengaku tidak mendapat bantuan obat sama sekali, hingga banyak sapinya yang mati.
Salah satunya dialami oleh peternak di Desa Pandesari, Kecamatan Pujon Kabupaten Malang, Rumaji. Menurutnya, selama wabah PMK menyerang 4 ekor sapinya, ia berusaha secara mandiri untuk melakukan pengobatan. Beruntungnya, sapi miliknya tidak ada yang sampai mati.
“Kalau obat dari pemerintah kayaknya hampir enggak ada sama sekali. Jadi, ini mulai terkena PMK, sapi saya berlendir lalu sampai ada luka boroknya, itu pengobatan saya lakukan sendiri,” pungkas Rumaji.
Hal yang sama juga dialami oleh peternak asal Dusun Jurangrejo, Siswanto (54). Ia mengaku lebih banyak mengeluarkan biaya pribadi untuk pengobatan sapi-sapinya yang terpapar PMK. Bahkan menurutnya, obat yang diberi pemerintah juga cenderung tidak berdampak banyak pada kesembuhan.
“Kalau dari pemerintah, cenderung tidak ada (bantuan) obat. Kebanyakan saya mengeluarkan uang pribadi, kemungkinan sudah sekitar Rp 12 juta. Sedangkan dari pemerintah, ada seperti suntikan antiobiotik, bukan vaksin. Tapi ya begitu, buktinya masih ada yang mati,” terang Siswanto.
Selama PMK mewabah beberapa waktu lalu, total sebanyak 9 ekor sapi miliknya mati. 6 ekor diantaranya merupakan sapi produktif yang sudah menghasilkan susu. Sedangkan 3 sisanya masih berupa anakan sapi.
Jika ditotal, ia menaksir kerugian yang ia tanggung akibat sapinya yang mati tersebut mencapai Rp 120 juta lebih. Sebab menurut Siswanto, sapi perah yang aktif memproduksi susu, biasanya dihargai Rp 20 juta per ekornya jika dijual.
“Kemungkinan lebih (Rp 120 juta). Itu kan untuk yang indukan yang sudah produksi susu, kalau pedet (anakan sapi) itu kan juga ada harganya,” ujar Siswanto.